Telusuri

Senin, 03 Agustus 2009

CERPEN : Suka? Sayang? Cinta kaleee!

"Gue suka lu!""Gue suka lu!""Gue suka lu!" Ah itu lagi itu lagi yang diucapin gadis-gadis ke gue. Kenalin, gue Refan, terkenal sebagai preman sekolah. Banyak yang takut sama gue banyak juga yang kepincut sama gue. Pasti mereka cuma liat tampang gue aja dan gue nggak suka itu. Kebanyakan yang nembak gue ialah cewek-cewek clubbing yang cuma butuh gandengan keren buat diajak jalan, emang gue tas cewek! Gue nggak suka ucapan 'suka', mungkin gue lebih ngehargain kalau mereka bilang 'sayang'. Tapi yang benar-benar gue tunggu dan gue harapkan adalah kata 'cinta'."Aku cinta kamu!" Gue terperangah, dan kenapa kata yang gue tunggu itu datang dari seorang gadis cupu yang dianggap freak di sekolah? Biasanya cewek-cewek model begini takut, bahkan mungkin benci dengan cowok tampang preman kayak gue. Mana mungkin nyambung, tampilan gue aja udah sangar. Gue bingung, kok bisa-bisanya dia 'cinta' sama gue, bahkan sekarang berani tatap mata gue dalam, cewek model dia biasanya ciut."Kenapa lu 'cinta' sama gue!"Gue keluarkan pertanyaan jebakan. Biasanya para cewek yang nembak gue akan langsung terbuka kedoknya dengan memuji-muji luar dan dalam gue. Terbukti mereka cuma lihat kelebihan gue. Yang gue harapin bukan pujian, tapi definisi dari cinta itu sendiri."Aku nggak tahu kenapa aku jatuh cinta sama kamu! Walaupun aku berkali-kali nyangkal rasa ini, tapi aku malah semakin sadar dan rasa ini semakin besar. Yang aku tahu, kamu memang orang yang tepat buat aku cintai!" Gue mengamati sosok gadis cupu itu. Dengan seragam dimasukkan, rok dibawah lutut dan rambut yang terus menerus dijepit asal. Kacamata juga tidak pernah lepas dari matanya, dan menurutku hal-hal itulah yang bisa mengurangi kecantikan wanita. Tapi jawabannya itu, itu benar definisi cinta yang gue cari. Kenapa malah dia yang bisa mengerti definisi cinta yang gue tunggu. Bukan pujian, bukan kelebihan, tapi kejujuran tentang perasaan yang memang diluar kuasa kita. Itu cinta, itu benar rasa cinta, bukan suka. Terbawa penasaran, gue setujui buat jadian sama gue, walaupun sebenarnya gue nggak punya perasaan yang sama. Sama teman-teman, buat ngejaga gengsi tentu gue bilang gue cuma cari sensasi jadian sama cewek kayak begitu. Berita jadiannya gue dengan Evia cukup heboh tersebar di sekolah. Gue cuek aja, banyak yang berpendapat gue pingin meningkatkan reputasi dengan mencari sensasi. Gue cukup kaget waktu pertama kali ngapelin Evia, cewek gue. Dia nggak secupu yang gue kira, nggak, dia sama sekali nggak cupu. Ternyata penampilan cupu itu cuma di sekolah aja, di luar dia berdandan selayaknya gadis biasa, manis malah. Kecuali kacamatanya, semua dandanannya waktu mau keluar bareng gue membuat gue pangling. Rambutnya ternyata panjang lurus, selama ini nggak kelihatan karena terus dijepit. Dan model seragam yang mengganggu pemandangan itu sudah diganti dengan baby doll pink cantik dengan jeans panjang. Evia akan lebih manis kalau aja dia mau melepaskan kacamatanya. Sayangnya ia nggak pernah mau, katanya nggak bisa melihat jelas. Sayang sekali dia nggak pakai softlens aja. Gue merasa cukup beruntung jadian sama Evia. Walaupun tampilannya biasa dan cenderung cupu di sekolah, gue nggak harus ribet seperti teman gue yang lain. Evia bukan gadis manja yang suka minta anter jemput kesana-kesini. Dia juga pengertian sama gue, dia bukan tipe cewek yang suka melorotin cowoknya. Dia selalu berusaha membuat gue nyaman kalau bersamanya. Dan gue mulai salut sama usaha dia. Gue akui, gue udah sayang sama dia, karena gue nggak ragu lagi, dia cinta dan sayang banget sama gue. Belakangan ini gue heran, Evia sering kelihatan kusut setiap mau gue antar pulang sekolah. Alasannya sih nabrak orang, minumannya muncrat, kuahnya muncrat, jatuh makanya ada noda tanah. Tapi gue curiga, itu cuma alasan buatan. Masa bisa sesering itu. Diam-diam gue mata-matain dia di sekolah, gue pesan ke teman terdekat dia buat lapor gue kalau ada sesuatu yang aneh. Kata temannya, kayaknya Evia digencet sama genk cewek-cewek yang patah hati sama gue. Gue langsung emosi, tapi gue ingin menangkap basah mereka. Hari itu pun tiba. Setiap istirahat kami memang pisah. Dia sama temannya, gue sama temen gue, kami nggak mau jadi pasangan yang saling ketergantungan. Gue tahu dia cewek yang mandiri dan punya dunianya sendiri, gue hargai kebutuhannya itu seperti juga dia menghargai waktu gue bersama sahabat-sabahat cowok gue. Istirahat itu gue mergokin Risha cs mendekati dia. Ini dia yang gue tunggu, gue kuntitin mereka sampa ke taman belakang sekolah yang sepi, tapi gue tetap dalam persembunyian. Risha mulai beraksi."Eh elo tuh ya, udah kita bilangin masih ngeyel juga! Refan tuh nggak beneran suka sama lu, dia cuma cari sensasi! Ngaca dong!" Risha berteriak kasar sambil mendorong Evia sampai jatuh terduduk. Gue emang preman, tapi gue nggak suka tingkah pengecut kayak gitu. Itu cuma akan dilakuin sama pecundang yang nggak bisa terima kekalahan, nggak sportif. Gini-gini gue juga hargai sportifitas."Terus apa urusan kalian!" Hebat, gue nggak nyangka Evia berani menjawab waau tidak beranjak dari duduknya."Lu tuh bolot ya! Ya lu putusin dia dong! Kita ini terganggu sama kehadiranlu! Dasar nggak tahu diri!" Regina menyiram kepala Evia dengan coca-cola. Evia nggak bisa melawan karena ditahan seabrek-abrek pasukannya. Gue udah nggak tahan pingin nunjukin diri kalau aja gue nggak dengar ucapan pacar gue."Nggak masalah dia manfaatin gue! Bisa bermanfaat buat dia aja gue udah bersyukur! Daripada ada cewek-cewek lain yang jadian sama dia buat manfaatin dia! Lebih baik gue yang dimanfaatin!" Ucapan Evia itu semakin membakar emosi rivalnya."Eh elo nyindir kita? Berani lu ngatain kita!" Mereka makin beringas."STOP! Apa-apaan sih ini! Kalian ngapain cewek gue hah?" Aku akhirnya keluar dari persembunyian. "Beruntung gue nggak terima lu semua, norak tau nggak! Pengecut!" Kataku sadis sambil merangkul Evia. Jujur gue kaget dengan ucapannya tadi. Dia nggak keberatan gue manfaatin, jujur awalnya gue emang nggak serius mau jadian sama dia. Sekarang gue sadar, gue beruntung banget temuin cewek kayak dia dan jadi pacarnya."Lu sendiri apaan Fan? Muna! Lu cuma cari sensasi doang kan jadian sama dia,lu tegasin dong sama dia biar dia nggak GR!" Risha malah membentakku.Mata Evia berkaca-kaca, aku sadar dia sudah hampir menangis. "Jaga bacotlu! Nggak ada urusannya juga samalu! Lagian kata siapa gue cuma cari sensasi hah?"Risha memutar bola matanya, "Hallah, Endo sendiri yang bilang sama gue! Lu nggak mungkin bohong sama sohiblu itu kan!" Sial, itu kelemahan sohib-sohib gue, mereka nggak bisa jaga rahasia. Itu kan cuma buat jaga gengsi gue, sekarang gengsi itu sudah nggak penting. "Kalo gue emang bohong, lu mau apa? Kalo gue beneran suka sama Evia lu mau apa?" Aku maju menantangnya. Lalu aku mengacungkan telunjukku di depan hidungnya dengan wajah semarah mungkin. "Jangan pernah lagi lu ikut campur urusan gue, apalagi sakitin pacar gue kayak gini! Sekali gue tau lu giniin cewek gue, gue pastiin nggak bakal ada lagi yang mau jadi pacarlu! Biar lu jadi perawan tua!" Aku menatapi tajam gadis-gadis lain yang bersekongkol dengannya. "Itu juga berlaku buat kalian! Sekarang bubar, atau gue laporin kalian ke kepala sekolah!" Ancamku. Mereka ciut dan bubar. Aku beralih menatap Evia yang masih shock, matanya masih berkaca-kaca."Kamu kenapa nggak lapor hal ini sama aku? Kamu nggak anggap aku sebagai cowok kamu?" Tanyaku kesal padanya. Aku nggak suka dia berkorban memendam ini sendiri."Aku pikir selama aku masih bisa ngatasin sendiri, aku nggak mau ngerepotin kamu! Lagipula aku takut...kamu akan putusin aku kalau tahu tentang ini!" Evia berkata dengan suara bergetar.Gue terharu dengan kenyataan ini. Ternyata selama ini Evia sengaja pendam sendiri karena nggak ingin gue repot, dia bahkan nggak masalah kalaupun gue benar-benar cuma memanfaatkan dia. "Ya nggak lah! Kamu boleh cerita apapun ke aku, cerita kesulitan kamu, apa aja deh, itu kalo kamu anggap aku sebagai cowok kamu!""Selama ini aku udah banyak ngerepotin kamu, aku nggak enak Fan! Aku juga tahu sebenarnya aku nggak pantas jadi pacar kamu, bisa jadian sama kamu aja aku udah bersyukur! Walaupun misalnya yang mereka bilang itu benar aku ikhlas, yang penting selama kamu masih butuh aku, aku akan tetap ada bersama kamu..." Evia terus berceloteh, membuatku spontan memeluknya."Kamu ngomong apa sih? Kamu percaya sama omongan mereka itu?" Gue sedih mendengar perkataannya. Ternyata Evia menganggap selama ini gue nggak benar-benar cinta padanya. Oke, awalnya memang iya, ternyata ia sadar, tapi...apa harus gue jelaskan? Gue menghela nafas. "Aku suka, cinta, sayang sama kamu Vi! Seperti apapun kamu! Awalnya aku emang cuma penasaran dengan keunikan kamu, tapi lama-lama...aku juga nggak bisa nyangkal perasaan ini Vi!" Ungkap gue jujur. Gue melepaskan pelukan dan menatap matanya dalam, "Aku serius udah jatuh cinta sama kamu! Sekarang tolong jangan berlagak kayak orang lain lagi denganku! Aku ini cowok kamu dan selalu anggap kamu sebagai cewek aku! Kalau ada kejadian kayak gini kamu harus cerita, tentu aja aku nggak akan ngerasa direpotin, aku justru bakal merasa dihargai!"Evia akhirnya menumpahkan air mata yang selama ini betah menggenangi bola matanya. "Aku kira selama ini kamu...kamu beneran nggak suka sama aku! Kamu..." Ia seperti tidak menyangka.Gue nggak menyangka dia menyadari niat awal gue. Bahkan selama ini walau dia menganggap gue nggak serius menyukainya, dia tetap berbaik hati sama gue. Dia bahkan ikhlas kalaupun benar-benar gue manfaatin."Kamu kenapa nembak aku kalau yakin aku nggak cinta sama kamu?" Tanya gue suatu hari waktu kami makan berdua di kafe."Aku cuma pingin jadi sebuah nama yang tercatat di hidup kamu, di kenangan kamu. Walaupun misalnya menurut kamu aku nggak berharga, setidaknya aku pernah mengisi dan bermanfaat di hidup kamu!" Begitu alasannya. Evia, apa sih yang ada di pikirannya. Gue heran ada aja cewek kayak gini. "Tapi aku senang banget ternyata kamu sekarang suka beneran sama aku!""Aku suka brownies, suka sama warna biru, suka sama film horor, suka usil!" Gue mencoba menyadarkannya arti 'suka'."Oke, sayang!" Ralatnya."Aku sayang sama piaraanku, si Boncil, aku sayang sama adikku, aku sayang sama adik sepupuku, aku sayang sama anak tetanggaku!" Gue kesal dia belum menjumpai kata yang tepat."Iya iya! Cinta!" Evia akhirnya sadar."Nah gitu dong!" Gue tersenyum mencomot pangsit udangnya. Dia menepuk tangan usil gue.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar