Telusuri

Senin, 03 Agustus 2009

BIOGRAFI TOKOH ISLAM

Tokoh Islam - Habib Ali Al Habsyi - Kwitang
Jika Anda berkunjung ke Kelurahan Kwitang, Jakarta Pusat, setiap Ahad pukul 06.00 hingga 10.00 pagi, niscaya akan menemukan kerumunan orang. Jumlahnya bertambah lebih dari dua kali biasanya. Kwitang, salah satu kampung tua di Jakarta, dalam waktu-waktu itu biasa didatangi para jamaah dari Jabotabek. Mereka umumnya berasal dari Mampang, Buncit, Kemang, Ragunan, Pedurenan, Kebayoran Lama, Depok, Bojonggede, dan sekitarnya.
Menurut Pimpinan Majelis Taklim Habib Ali Kwitang, Habib Abdurahman Alhabsji (62), tiap Ahaad sekitar 20 ribu hingga 30 ribu kaum Muslimin dan Muslimat berdatangan ke majelis taklimnya. Menurut Abdurahman, pada Sabtu malam banyak di antara jamaah yang datang dari jauh, menginap di maujelis taklim ini.
Majelis Taklim Kwitang, boleh dikatakan sebagai majelis taklim tertua di Jakarta. Kelompok ini telah berdiri sejak seabad lalu. Pendirinya adalah Habib Ali Alhabsji. Warga Betawi menyebutnya sebagai Habib Ali Kwitang. Ia dilahirkan di kampung Kwitang, tempat majelis taklim ini berada pada 20 April 1870 atau 133 tahun lalu. Sejak usia 20 tahun, Habib Ali telah menjalankan pengajaran agama di berbagai pelosok Ibukota
Di samping itu, Habib Ali yang sejak usia enam tahun telah yatim karena ditinggal mati ayahnya Habib Abdurahman, sejak muda juga telah melakukan perniagaan kecil-kecilan. Ayahnya Habib Abdurahman, kelahiran kota Semarang, kemudian bermukim di kampung Kwitang. Di makamkan di Cikini, habib Abdurahman adalah misan pelukis kenamaan Raden Saleh, yang juga kelahiran Semarang. Ia bermukim di Kwitang, setelah menikah dengan Hajjah Salmah, puteri seorang ulama Betawi dari Kampung Melayu, Jatinegara.
Di majelis taklim Kwitang inilah Habib Ali, dan juga putranya Habib Muhammad, dan kemudian cucunya Habib Abdurahman kini memimpin majelis taklim lahir. Seperti dikemukakan Habib Abdurahman, yang merupakan generasi ketiga dari majelis Kwitang ini, Habib Ali meninggal dunia pada Juni 1968 dalam usia 98 tahun. Dia digantikan putranya Habib Muhammad yang meninggal pada 1993. Dengan demikian Habib Abdurahman telah memimpin pengajian ini selama 10 tahun.
Setelah Habib Ali meninggal, murid-muridnya seperti KH Abdullah Syafiie dan KH Tohir Rohili masing-masing mendirikan Majelis Taklim Syafiiyah, di Bali Matraman, Jakarta Selatan, dan Tohiriah di Jl Kampung Melayu Besar, Jakarta Selatan. Kedua majelis taklim ini telah berkembang demikian rupa sehingga memiliki perguruan Islam, mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Karena punya akar yang sama, tiga majelis ini (Kwitang, Syafiiyah, dan Tahiriyah) selalu merujuk kitab an Nasaih ad-Diniyah karangan Habib Abdullah Alhadad, seorang sufi terkenal dari Hadramaut, Yaman Selatan. Ratibnya hingga kini dikenal dengan sebutan Ratib Hadad.
Menurut KH Abdul Rasyid AS, putra almarhum KH Abdullah Syafi'ie yang kini memimpin Majelis Taklim Asy-Syafi'iyah, sekalipun kitab kuning ini telah berusia 300 tahun, tapi masalah yang diangkat masih tetap relevan dan aktual saat ini. Sufi yang kitab karangannya juga dijadikan rujukan di Mesir dan sejumlah negara Arab, memang banyak mengangkat segi akhlak, agar manusia memiliki akhlakul karimah seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Kembali kepada almarhum Habib Ali, ia memiliki banyak murid orang Betawi, termasuk KH Noer Ali, ulama dan tokoh pejuang dari Bekasi, karena pernah memiliki madrasah Unwanul Falah. Madrasah Islam dengan sistem kelas didirikan pada tahun 1918, dan letaknya di Jl Kramat Kwirang II, berdekatan dengan Masjid Al-Riyadh, Kwitang. Untuk pertama kali waktu itu, madrasah ini juga terbuka untuk murid-murid wanita, sekalipun tempat duduknya dipisahkan dengan murid pria. Ratusan di antara murid-murid sekolah ini, kemudian menjadi da'i terkemuka, dan banyak yang memimpin pesantren, termasuk Al-Awwabin pimpinan KH Abdurahman Nawi di Depok, dan Tebet, Jakarta Selatan.
Dengan jubah putih dan janggut rapi, laksana pakaian Pangeran Diponegoro ketika mengibarkan jubahnya melawan Belanda, setelah masa tuanya tiap hari duduk di depan kediamannya di Kwitang. Dia telah menjadikan kediamannya ini sebagai masjid, sekalipun ia juga ikut mendirikan Masjid Kwitang, yang jaraknya sekitar 200 meter dari kediamannya. Dari kediamannya inilah, ia menerima para tamu yang bersilaturahim, maupun murid- muridnya yang kebanyakan ulama untuk lebih menambah ilmu. Sedangkan pada Ahad pagi ia biasa dikelilingi ribuan jamaah yang mendengarkan petuah-petuahnya tentang ilmu agama.
Mohamad Asad (93), penulis banyak buku di Timur Tengah, dan puluhan tahun mengenalnya mengatakan, majelis taklim Kwitang bertahan selama satu abad hingga sekarang, karena inti ajaran Islam yang disodorkan berlandaskan tauhid, kemurnian iman, solidaritas sosial, dan akhlakul karimah. Ia tidak pernah menanamkan ideologi kebencian, hasad, dengki, ghibah, fitnah, dan namimah. Ia juga menekankan prinsip ukhuwah Islamiyah, sekalipun ia lebih mendekati akidah kelompok NU, tapi majelisnya banyak pula didatangi tokoh Muhammadiyah.
Habib Ali yang selama hidupnya hampir tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah, seperti dikemukakan oleh Mr Hamid Algadri, termasuk ikut mendorong Syarikat Islam yang dipimpin HOS Cokroaminoato. Karena itu, ia juga berkawan dengan Haji Agus Salim, dan pernah bersama-sama dipenjarakan pada masa pendudukan Jepang. Dalam rangka prinsip ukhuwah Islamiyah, karenanya di majelis-majelis taklim warga Betawi seperti dianjurkan Habib Ali, hampir tidak ada diantara mereka yang membesar-besarkan perbedaan, apalagi kalau perbedaan itu dalam masalah khilafiah.
Habib Ali memimpin perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Masjid Kwitang sejak tahun 1920. Dalam perayaan maulid secara tradisional ini diselingi bacaan-bacaan, berupa pujian akan kebesaran asma Allah, pembacaan sejarah Nabi, juga dihadiri para pembesar dan pejabat negara. Tidak kurang dari PM Juanda, Presiden Soeharto, Menko Pangab Jenderal Nasution menghadiri maulid dan pengajiannya.
Seperti dikemukakan oleh cucunya Habib Abdurahman, peringatan maulid akhir Kamis di Majelis Taklim Kwitang, yang tahun ini akan diselenggarakan Kamis 27 Rabiulawal atau 29 Mei 2003, dengan membaca kitab Simtud Duror karangan Habib Ali Muhammad, ulama terkenal dari Sewon, Hadramaut. Peringatan maulid dengan membaca kitab tersebut pertama kali diselenggarakan di Indonesia di kota Jatiwangi, Cirebon. Kemudian berpindah ke kota Tegal, kemudian ke Bogor. Setelah itu ke kota Surabaya di Masjid Ampel. Pada tahun 1919, Habib Ali yang kala itu berusia 54 tahun mendapatkan wasiat untuk melanjutkan peringatan maulid ini tiap akhir Kamis bulan Rabiulawal. Mula-mula oleh Habib Ali diselenggarakan di Tanah Abang, di sekolah Jamiatul Kheir sekarang ini. Mulai tahun 1937, ketika Masjid Kwitang berada dalam asuhannya, maulid diselenggarakan di tempat ini. Dan kemudian berpindah di majelis taklimnya hingga sekarang.
Pada masa-masa lalu, perayaan maulid Nabi di Kwitang selalu disiarkan oleh radio Jakarta. Sehingga umat Islam yang tidak bisa hadir di Kwitang, dapat mengikutinya melalui radio baik dari dalam maupun luar negeri. Terbukti dari banyaknya surat yang diterima oleh Habib Ali kala itu.
Menurut Habib Abdurahman, pada peringatan maulid yang telah berlangsung lebih 80 tahun ini, seperti juga pada masa kakeknya, sejumlah ulama dari Singapura, dan Malaysia telah menyatakan akan hadir pada maulid tahun ini. ''Saya masih menunggu surat dari Arab Saudi dan Timur Tengah,'' ujar Habib lulusan Daarul Nasi'in Lawang (1955-1958). Diperguruan ini ia sekelas dengan Ketua Umum PKB Alwi Shihab.
Dia memperkirakan, seperti tahun-tahun lalu, tahun ini tidak kurang dari 50 ribu jamaah yang akan hadir. Untuk itu, dia telah menyediakan 200 ekor kambing untuk konsumsi mereka. ( alwi shahab)

Riwayat Singkat Yusuf Al Qardhawi fikar

Lahir di sebuah desa kecil di Mesir bernama Shafth Turaab di tengah Delta pada 9 September 1926. Usia 10 tahun, ia telah menghafal Al Qur’an. Menamatkan pendidikan di Ma’had Thantha dan Ma’had Tsanawi, Qardhawi kemudian melanjutkan studynya ke Universitas Al Azhar, Fakultas Ushuluddin dan menyelesaikannya pada tahun 1952 M.

Tapi gelar doktornya baru dia peroleh pada tahun 1972 dengan disertasi “Zakat dan Dampaknya Dalam Penanggulangan Kemiskinan”, yang kemudian di sempurnakan menjadi Fiqh Zakat. Sebuah buku yang sangat konprehensif membahas persoalan zakat dengan nuansa modern. Sebab keterlambatannya meraih gelar doktor, karena dia sempat meninggalkan Mesir akibat kejamnya rezim yang berkuasa saat itu. Ia terpaksa menuju Qatar pada tahun 1961 dan di sana sempat mendirikan Fakultas Syariah di Universitas Qatar. Pada saat yang sama, ia juga mendirikan Pusat Kajian Sejarah dan Sunnah Nabi. Ia mendapat kewarganegaraan Qatar dan menjadikan Doha sebagai tempat tinggalnya.
Dalam perjalanan hidupnya, Qardhawi pernah pernah dipenjara sejak masa mudanya. Di Mesir, saat umurnya 23 tahun dipenjarakan oleh Raja Faruk pada tahun 1949, karena keterlibatannya dalam pergerakan Ikhwanul Muslimin. Pada April tahun 1956, ia ditangkap lagi saat terjadi Revolusi Juni di Mesir. Bulan Oktober, kembali ia mendekam di penjara militer selama dua tahun.

Qardhawi terkenal dengan khutbah-khutbahnya yang berani sehingga sempat dilarang sebagai khatib di sebuah masjid di daerah Zamalek. Alasannya, khutbah khutbahnya dinilai menciptakan opini umum tentang ketidak adilan rezim saat itu.

Qardhawi memiliki tujuh orang anak, empat putri dan tiga putra. Sebagai seorang ulama yang sangat terbuka, dia membebaskan anak anaknya untuk menuntut ilmu apa saja sesuai dengan minat dan bakat serta kecenderungan masing masing, dan hebatnya lagi, dia tidak membedakan pendidikan yang harus ditempuh anak-anak perempuannya dan anak laki lakinya.

Salah seorang putrinya memperoleh gelar doktor fisika dalam bidang nuklir di Inggris. Putri keduanya memperoleh gelar doktor dalam bidang kimia juga dari Inggris, sedangkan yang ketiga masih menempuh S3nya. Adapun yang keempat telah menyelesaikan pendidikan S1-nya di Universitas Texas Amerika.

Anak laki-laki yang pertama menempuh S3 dalam bidang teknik elektro di Amerika, yang kedua belajar di Universitas Darul Ulum Mesir. Sedangkan yang bungsu telah menyelesaikan kuliahnya pada fakultas teknik jurusan listrik.

Dilihat dari beragamnya pendidikan anak-anaknya, kita bisa membaca sikap dan pandangan Qardhawi terhadap pendidikan modern. Dari tujuh anaknya, hanya satu yang belajar di Universitas Darul Ulum Mesir dan menempuh pendidikan agama. Sedangkan yang lainnya, mengambil pendidikan umum dan semuanya ditempuh di luar negeri. Sebabnya ialah, karena Qardhawi merupakan seorang ulama yang menolak pembagian ilmu secara dikotomis. Semua ilmu bisa islami dan tidak islami, tergantung kepada orang yang memandang dan mempergunakannya. Pemisahan ilmu secara dikotomis itu, menurut Qardhawi, telah menghambat kemajuan umat Islam.

Yusuf Qardhawi dikenal sebagai ulama dan pemikir islam yang unik sekaligis istimewa, keunikan dan keistimewaanya itu tak lain dan tak bukan ia memiliki cara atau metodologi khas dalam menyampaikan risalah islam, lantaran metodologinya itulah dia mudah diterima di kalangan dunia barat sebagai seorang pemikir yang selalu menampilkan islam secara ramah, santun, dan moderat, kapasitasnya itulah yang membuat Qardhawi kerap kali menghadiri pertemuan internasional para pemuka agama di Eropa maupun di Amerika sebagai wakil dari kelompok islam.

Dalam lentera pemikiran dan dakwah islam, kiprah Yusuf Qardhowi menempati posisi vital dalam pergerakan islam kontemporer, waktu yang dihabiskannya untuk berkhidmat kepada islam, bercearamah, menyampaikan masalah masalah aktual dan keislaman di berbagai tempat dan negara menjadikan pengaruh sosok sederhana yang pernah dipenjara oleh pemerintah mesir ini sangat besar di berbagai belahan dunia, khususnya dalam pergerakan islam kontemporer melalui karya karyanya yang mengilhami kebangkitan islam moderen. Sekitar 125 buku yang telah beliau tulis dalam berbagai demensi keislaman, sedikitnya ada 13 aspek kategori dalam karya karya Qardhawi, seperti masalah masalah : fiqh dan ushul fiqh, ekonomi islam, Ulum Al Quran dan As sunnah, akidah dan filsafat, fiqh prilaku, dakwah dan tarbiyah, gerakan dan kebangkitan islam, penyatuan pemikiran islam, pengetahuan islam umum, serial tokoh tokoh islam, sastra dan lainnya. sebagian dari karyanya itu telah diterjemahkan ke berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia, tercatat, sedikitnya 55 judul buku Qardhawi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia.

Biografi Syeikh Muhammad Jawad Mughniyah

Muhammad Jawad Mughniyah adalah salah satu tokoh ulama yang memiliki peranan penting dalam upaya pendekatan antar madzhab Islam. Beliau adalah tokoh ulama yang menguasai berbagai cabang ilmu, berperan besar dalam kegiatan kebudayaan dan terjun dalam upaya menegakkan persatuan dan solidaritas Islam.
Keluarga Mughniyah
Keluarga Mughniyah berasal dari kota Mughniyah yang merupakan salah satu kota di Aljazair. Pada abad ke 6 hijriah kakek dari keluarga besar ini hijrah ke Jabal ‘Amil Lebanon, dan kemudian masyarakat setempat menyebutnya dengan nama Mughniyah. Alhasil, di kota Beirut nama keluarga Mughniyah sangat terkenal dan merupakan keluarga yang terpandang dan terhormat, karena dari keluarga ini muncul banyak tokoh-tokoh ulama yang menonjol di bidang ilmu, sastra, dan akhlak yang mulia. Salah satu dari mereka adalah Allamah Syeikh Abdul Karim bin Syeikh Mahmud bin Syeikh Muhammad bin Syeikh Mahdi ‘Amili, yang memiliki keagungan dan kemulian di kalangan masyarakat setempat.
Salah satu kakek Syeikh Abdul karim yaitu Syeikh Mahdi adalah tokoh ulama besar di zamannya, dan beliau hidup sezaman dengan Syeikh ‘Abdun Nabi yang tinggal di satu kota yang sama yaitu kota Jabal ‘Amil. Sedangkan anak beliau yaitu Syeikh Muhammad dan cucu beliau Syeikh Mahmud, juga termasuk tokoh ulama besar yang terkenal.
Ayah Syeikh Muhammad Jawad
Ayah Syeikh muhammad Jawad Mughniyah adalah Syeikh Mahmud yang merupakan salah satu tokoh masyarakat di Lebanon. Beliau lahir di kota Najaf pada tahun 1289 H. Kemudian beliau bersama ayahnya datang ke wilayah Jabal ‘Amil Lebanon dan mengenyam pendidikan di kota itu. Setelah menyelesaikan beberapa pelajaran dan ilmu-ilmu dasarnya seperti ilmu fiqih dan ilmu ushul, beliau kembali ke kota Najaf untuk melanjutkan studinya. Di kota Najaf beliau menuntut ilmu dan berguru kepada beberapa ulama besar Najaf diantaranya, Ayatullah Naini, Ayatullah Isfahani dan Ustadz Dhiaud Diin Al-Iraqi. Setelah beberapa lama, beliau kembali ke Lebanon dan menetap di kota Ma’arrah. Di kota ini beliau aktif dalam kegiatan tabligh, menulis dan memberikan arahan-arahan kepada masyarakat.
Di kota Najaf, Syeikh Mahmud sangat aktif dalam menulis dan menyusun syair-syair religius dan Islami. Di dalam buku “Takmilatu Amalil Amil” dikatakan bahwa Syeikh Mahmud Mughniyah adalah seorang peneliti di bidang keilmuan. Jarang ada cendikiawan dan tokoh Arab di zaman itu yang mampu memahami dan atau menganalisa permasalahan-permasalahan seperti beliau. (“Takmilatu Amalil Amil hal: 396” ).
Beliau tinggal di dunia yang fana ini tidak terlalu lama, dan meninggal dunia pada usianya yang ke-44 tahun. Adapun keturunan dan anak-anak beliau yang meneruskan dan menggantikan beliau adalah: Syeikh Ahmad Mughniyah, Syeikh Abdul Karim Mughniyah dan Syeikh Muhammad Jawad Mughniyah, ketiganya adalah ulama besar yang disegani.
Kelahiran dan masa kecil Syeikh Muhammad jawad
Muhammad Jawad Mughniyah lahir didesa Tirdeba yang termasuk salah satu bagian wilayah Shur (Tyre) di Lebanon pada tahun 1324 H/1904 M. Kota Shur adalah sebuah kota yang menjadi bagian dari wilayah yang dulunya bernama Finiqiyah dan terkenal dengan perdagangannya. Wilayah ini pada tahun 333 Sebelum Masehi diserang oleh pasukan Alexander dari Makedonia. Masyarakat setempat mengadakan perlawanan dan berjuang melawan serangan tersebut dengan gigih. Kini wilayah ini termasuk bagian dari negara Lebanon. (Farhang Farsi Mu’in, hal: 1039 ).
Beliau diberi nama oleh ayahnya dengan nama Muhammad Jawad. (Syiah wa Zemamdarane Khudsar, hal: 17). Ibu beliau adalah seorang wanita mulia dari keturunan Sayyidah Fatimah Az-Zahra’ as. Pada usia empat tahun, ibu tercinca beliau meniggal dunia. Tak lama setelah ditinggal oleh sang ibu, Muhammad Jawad bersama ayahnya pergi ke kota Najaf. Di kota Najaf beliau mulai belajar menulis, menghitung dan belajar bahasa Farsi, walaupun pada akhirnya karena sama sekali tidak pernah digunakan, Muhammad Jawad melupakan bahasa ini. Adapun ayah beliau meninggalkan kota Najaf dan kembali ke Lebanon setelah empat tahun tinggal di kota suci itu, karena undangan masyarakat daerah ‘Abbasiah yang memintanya untuk datang ke daerah tersebut. (Al-Islam Ma’a Al-Hayat, hal: 279).
Walaupun ayah Muhammad Jawad tergolong salah satu orang ulama yang terkenal, akan tetapi secara ekonomi, beliau bukan orang yang kaya. Oleh karena itu, setelah tiba di daerah ‘Abbasiah, beliau mulai membangun sebuah rumah untuk dirinya dan masyarakat
setempatpun ikut andil dan bersama-sama membantu dalam pembangunan rumah beliau. Akan tetapi karena kendala ekonomi dan minimnya dana, beliau terpaksa meminjam uang dari salah seorang pengerajin tangan yang bernama Ismail Shaegh untuk menyelesaikan dan menyempurnakan pembangunan rumahnya. Rumah itupun dijadikan sebagai jaminan atas utang tersebut. Setelah rumah yang dibangunnya itu sempurna dan beliau tinggal di dalamnya, kurang dari setahun setelah itu beliau meninggal dunia pada tahun 1344 H. Karena utang yang belum terlunasi, akhirnya kepemilikan rumah itu diambil alih oleh pengerajin tangan sebagai ganti dari utangnya. Adapun sisa harta dari selisih antara utang dan harga rumah, diserahkan dan dibagikan kepada saudara dan paman-paman Muhammad Jawad. Sedangkan Muhammad Jawad yang saat itu berusia 12 tahun dan adiknya yang bernama Ahmad diserahkan dan diasuh oleh kakaknya. Mereka berdua tinggal dan hidup bersama kakaknya di kota Tirdeba tempat kelahiran Muhammad Jawad. (Al-Islam Ma’a Al-Hayat, hal: 279).
Situasi dan kondisi Muhammad Jawad sepeninggal ayahnya menjadi sangat sulit dan semakin susah. Terkadang beliau terpaksa menahan lapar selama tiga hari tanpa makan karena tidak ada yang bisa digunakan untuk mengisi perut. Oleh karena itu dengan sangat terpaksa beliau bekerja sebagai penjual halwa (jenis makanan yang manis ). (Golshane Abrar, jilid 3, tajarube Muhammad Jawad Mughniyah, hal: 25” ). Entah apakah dengan menjual manisan beliau bisa memperbaiki keadaan atau tidak, tidak ada data tentang hal itu. Akan tetapi melihat petunjuk-petunjuk yang ada, nampaknya kondisi kehidupannya tetap tidak membaik. Muhammad Jawad yang sebelumnya memiliki satu-satunya harta berupa alas tidur, setelah ia pindah ke rumah kakaknya dan selanjutnya pergi ke Najaf untuk belajar, alas tidur itupun tidak lagi ia miliki. (Al-Islam Ma’a Al-Hayat, hal: 279). Beliau akhirnya tidur beralaskan lantai bahkan di musim dingin sekalipun, akibatnya beliau menderita penyakit reumatik karena udara yang begitu dingin dan kondisi rumah yang sangat tidak memadai. Selama 28 tahun beliau menderita sakit reumatik. (Syiah wa Zemamdarane Khudsar, hal: 18).

Masa Belajar Syeikh Muhammad Jawad

Dalam kondisi bagaimanapun, beliau sama sekali tidak kehilangan semagat yang kuat untuk tetap mencari ilmu. Oleh karena itu, beliau melanjutkan belajarnya di Lebanon. Di sini Muhammad Jawsad belajar kitab Al-Ajurumiyah dan Qatrun Nada. Kemudian untuk
melanjutkan studinya beliau berkeinginan pergi lagi ke kota Najaf, akan tetapi keinginan itu terhalangi oleh kesulitan biaya perjalanan ke sana. Walaupun demikian Muhammad Jawad tidak patah semangat. Dengan berdoa meminta kepada Dzat yang Maha Kuasa dan bertawassul kepada Ahlu-Albayt as untuk menghilangkan segala kendala yang dihadapinya, akhirnya beliau berjumpa salah seorang supir yang bersedia membantu dan membawanya ke Iraq tanpa harus mengantongi paspor. Atas bantuan supir tersebut yang beragama Kristen dari kelompok Kristen Iskandariyah yang menetap di Lebanon, beliaupun sampai ke Iraq.
Beberapa tahun kemudian, ketika menulis tentang perjalanan hidupnya, Syekh Muhammad Jawad Mughniyah masih terkenang akan jasa dan budi baik supir yang membantunya pergi ke Iraq. Beliau dalam tulisannya menulis demikian: “Sudah 33 tahun berlalu dan sampai saat ini saya masih selalu ingat dan berterima kasih atas budi dan kebaikannya, dan saya tidak akan mungkin melupakan jasa-jasanya. Karena saya selalu merasa bahwa dia adalah manusia pertama yang menyintai saudara sesama manusianya dengan tulus.”. (Golsyane Abrar, jilid 3, Makalah Syeikh Muhammad Jawad Mughniyah).
Setelah Muhammad Jawad tiba di Iraq, beliau langsung menuju kota Najaf Al-Asyraf, dan disanalah beliau tinggal. Di kota itu, beliau melanjutkan studinya di hauzah ilmiah, dan setelah sempurna menyelesaikan pelajaran-pelajaran dasarnya, beliau berguru kepada para ulama besar di Najaf diantaranya: Ayatullah Muhammad Husein Karbalai, Sayid Husein Himami dan Ayatullah Khui. (Syiah wa Zemamdarane Khudsar, hal: 19). Dalam situasi dan kondisi apapun beliau tetap bersabar dalam menghadapi segala cobaan, sehingga bertahan dalam menuntut ilmu di Najaf selama 11 tahun, sampai kemudian beliau mendapat informasi bahwa kakaknya meninggal dunia. Setelah mendengar berita itu, Muhammad Jawad terpaksa meninggalkan kota Najaf dan kembali ke Lebanon.
Sepeninggal kakaknya, masyarakat setempat meminta Syekh Muhammad Jawad –yang sudah menjelma menjadi ulama muda dan bertaqwa- untuk melanjutkan dan menggantikan posisi kakaknya dalam membimbing masyarakat setempat. Beliaupun mengabulkan permintaan masyarakat itu. Oleh karena itu, selain menjadi imam solat jama’ah, beliau juga mengajarkan Al-Quran dan ilmu-ilmu keislaman kepada masyarakat. Karena minimnya budaya masyarakat setempat yang membuat Syekh Muhammad Jawad tertekan dan akibat kesusahan masyarakat karena menanggung biaya hidupnya, akhirnya setelah 2 tahun menetap di kota ini, Syekh Muhammad Jawad memutuskan untuk berpamitan dengan masyarakat kota itu. Pada tahun 1357 H, beliau pergi ke desa “Tirharfa” dan beliau tinggal di daerah utara desa tersebut yang bernama “Wadi Assarwah”. Di daerah inilah beliau menyibukkan diri dengan menulis, membaca dan menelaah sejumlah buku seperti karya Nietzche, Schopenhauer, Mahmud Aqqad, Toha Husein dan Taufiq Hakim. Karya beliau yang ditulis di daerah tersebut antara lain: “Al-Wad’u Al-Hadhir fi Jabal ‘Amil”, “Tadhhiyah” dan “Kumait wa Di’bil”.
Kurang lebih 10 tahun Syeikh Muhammad Jawad Mughniyah tinggal di daerah tersebut. Dan pada tahun 1367H, beliau pergi ke kota Beirut dan menetap di sana. (Golsyane Abrar, jilid 3, Makalah Syeikh Muhammad Jawad Mughniyah).
Dalam kehidupan keilmuannya, Syekh Muhammad Jawad Mughniyah berguru kepada ulama di kota Najaf ataupun di Lebanon seperti Ayatullah Muhammad Husein Karbalai, Sayid Husein Himami dan Ayatullah Khui, Syeikh Abdul Karim Mughniyah (kakak beliau sendiri yang wafat pada tahun 1354 H) dan juga Sayid Muhammad Sa’id Fadhlullah.
Tanggung Jawab Dalam Pemerintahan
Setelah Syekh Muhammad Jawad tinggal dan menetap di kota Beirut, dan pada pada tahun 1367 H ketika berusia 43 tahun beliau terpilih sebagai Hakim di pengadilan yang khusus untuk orang-orang Syiah Beirut. Dan ini merupakan tanggung jawab yang sangat besar bagi beliau.
Negara Lebanon merupakan salah satu negara yang masyarakatnya dengan beragama agama dan madzhab. Sebagian pemeluk agama Kristen dan sebagian yang lain pemeluk agam Islam. Di antara warga Muslim ada yang memeluk aliran Syiah dan sebagian yang lain beraliran Ahlussunnah wal Jamaah. Oleh karena itu kantor pengadilannya bagi masing-masing pemeluk agama dan madzhab juga berbeda-beda. Pemeluk agama Kristen memiliki kantor pengadilan yang khusus untuk mereka, sedangkan masyarakat Syiah dan Ahlussunnah juga memiliki kantor pengadilan yang khusus. Sehingga dalam menyelesaikan kasus-kasus yang ada, disesuaikan dengan hukum dan undang-undang menurut keyakinan masing-masing.
Pada tahun 1368 H, Muhammad Jawad Mughniyah terpilih dan menjadi penasehat tertinggi Mahkamah di Lebanon. Pada tahun 1370 H, beliau menjabat sebagai Ketua Lembaga Tertinggi Peradilan Khusus Syiah di Lebanon. (Syiah wa Zemamdarane Khudsar, hal: 20).

Jabatan ini dipegangnya sampai tahun 1375 H. Selama duduk di posisinya tersebut, beliau memberikan kontribusi bagi lembaga peradilan di negara itu. Samapi tahun 1378 H, beliau menjabat sebagai penasehat tertinggi Mahkamah di Lebanon, sampai akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya itu. Kemudian beliau aktif dalam menulis dan mengadakan penelitian ilmiah. (Golshane Abrar, jilid 3, makalah Syeikh Muhammad Jawad Mughniyah).
Kisah Petualangan Syeikh Muhammad Jawab
Di kalangan ulama Syiah dan Sunni Syekh Muhammad Jawad Mughniyah dikenal sebagai ulama dan cendikiawan Muslim yang unggul. Beliau sering melakukan perjalanan ke berbagai negara, selain perjalanan ke luar negeri utuk menimba ilmu. Pada tahun 1379 H, untuk pertama kalinya beliau berkunjung ke Syria. Di sana beliau berjumpa dengan Syeikh Abu Zuhrah. Kemudian pada tahun 1382 H, beliau berkunjung ke Mesir. Pada tahun 1383 H, dari Mesir beliau bertolak menuju ke Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji. Dan pada tahun 1385H beliau menuju Bahrain, di sanalah beliau berjumpa dengan sejumlah ulama. Kemudian pada tahun1390 H, beliau berkunjung ke Iran dan berziarah ke makam Imam Ali Ridho as. Setelah itu beliau menuju kota Qom dan tinggal di sana selama 2 tahun.
Ungkapan beliau berkenaan dengan kunjungannya ke Iran ialah:
“Ketika saya berada di Mesir, saya sempat berfikir bahwa saya akan tinggal selamanya di sana, akan tetapi karena kondisi perang antara Mesir dan Israel, maka saya berniat kembali ke negaraku. Di Beirut waktu berjalan demikian cepat tanpa terasa, sampai akhirnya saya diundang oleh Ayatullah Syari’at Madari untuk mengajar di Darut Tabligh (Daftar Tablighat Islami yang berada dikota Qom). Kemudian saya ber istikharah dengan Alquran, dan mendapatkan ayat berbunyi
وَ قال‌َ انَّي‌ ذاهب‌ٌ الي‌ رَبَّي‌ سَيَهْدين‌
“Dia berkata: Sesungguhnya aku hendak pergi kepada Tuhanku, Dia yang akan menunjukkan jalan kepadaku” (Q. S. As-Saffat: 99). Ketika saya tiba di kota Qom, saya langsung menuju ke Darut Tabligh. Saya kagum dan terkesan saat saya melihat perkembangan intelektualitas pelajaran-pelajaran Islam baik dari materi-materi pelajaran dasar, menengah dan tinggi

seperti: Tafsir dan Nahjul Balaghah. Selain itu saya juga terkesan dengan dibentuknya pertemuan rutin mingguan untuk kalangan muda”. (Muqaddima Falsafat At-tauhid wal Wilayah, hal: 6)
Ustad Muhammad Jawad Mughniyah mengajar di yayasan Darut Tabligh selama 2 tahun. Beliau di sana mengajar ilmu Tafsir dan Aqidah. Setelah 2 tahun berada di Qom, beliau kembali ke kota Beirut pada tahun 1392 H.
Peran Syeikh Muhammad Jawad dalam Pendekatan Antar Madzhab Islam
Hal terpenting yang selalu mengusik pikiran dan hati Syeikh Muhammad Jawad Mughniyah saat itu adalah masalah persatuan umat Islam. Beliau selalu berusaha keras untuk mempererat persatuan umat Islam. Oleh karena itu, dalam setiap kesempatan yang ada, beliau selalu membicarakan dan bertukar pikiran dengan para ulama Ahlus Sunnah, untuk membahas dan membicarakan tentang persatuan Muslimin. Pada tahun 1960 M, beliau berjumpa dengan Syeikh Muhammahd Abu Zuhrah di Damaskus, Syria. Pada tahun 1970 Masehi, beliau berjumpa dengan DR Mustofa Mahmud. Kemudian beliau juga bertemu dan bertatap muka dengan sejumlah ulama besar dari Al-Azhar Mesir, di antaranya: Syeikh Numam dan Syeikh Syarbashi. Ketika berada di kota Qom beliau dikunjungi oleh ulama Sunni bernama Syeikh Hushari. (Syiah dar Misr, hal: 144 dan 150 ). Pada tahun 1382 H, dengan membawa misi persatuan umat Islam, beliau berkunjung ke Mesir. Di sana beliau berjumpa dan berbincang-bincang dengan imam masjid Al-Azhar.
Syeikh Muhammad Jawad pada tahun 1382 H berjumpa dengan Pemimpin Al-Azhar, Syeikh Mahmud Syaltut (wafat tahun 1384 H). Di antara mereka berdua juga terjadi perbincangan tentang persatuan Islam dan metode pelaksanaannya. Syeikh Mahmud Syaltut merupakan salah satu pendiri Darut Taqrib Bainal Madzahib. Beliau juga dianggap sebagai salah seorang yang mengumandangkan persatuan Islam. Dalam salah satu fatwanya beliau mengatakan: “Boleh hukumnya mengamalkan fiqihnya Syiah Imamiyah”. Karena itu beliau sangat disukai dan dihormati di kalangan ulama Syiah.
Hubungan Syeikh Muhammad Jawad Mughniyah dan Syeikh Syaltut dimulai pada tahun 1368 H, dimana terjadi hubungan surat menyurat di antara mereka berdua. Ini semua membuktikan bahwa diantara mereka berdua ada kesepahaman dan kesamaan pandangan menyangkut masalah persatuan Islam.
Akan tetapi mereka berdua baru berjumpa pada tahun 1382 H di saat Syeikh Mughniyah berkunjung ke Mesir. Syeikh Mughniyah berkata dalam tulisannya: “Saya datang ke rumah Syeikh Syaltut dan beliau menyambutku dengan hangat. Di saat berbicara tentang Syiah, Syeikh Syaltut berkata: orang-orang Syiahlah yang mendirikan Al-Azhar, dan di sini sempat diajarkan ilmu-ilmu dari kahzanah keilmuan Syiah walaupun dalam masa yang tidak terlampau lama. Sampai pada akhirnya segala bentuk materi pelajaran dan atribut-atribut tentang Syiah dilarang. Saya menimpali pembicaraan Syekh Syaltut dan berkata: “Para ulama Syiah sangat menghormati anda, dan mereka kagum terhadap anda, karena anda memiliki pengetahuan yang luas dan dalam tentang agama, juga karena keberanian anda dalam mengungkapkan kebenaran. Syeikh Mughniyah melanjutkan perkataannya, beliau berkata kepada Syeikh Syaltut: Orang-orang Syiah berkeyakinan bahwa pemimpin dan khalifah setelah Rasulullah adalah Imam Ali bin Abi Thalib as, akan tetapi mereka juga berkeyakinan bahwa jangan sampai terjadi perpecahan yang dapat membahayakan Islam, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Imam Ali as. Kemudian Syeikh Syaltut berkata kepada orang-orang yang hadir: Orang-orang Sunni tidak mengetahui hakikat tersebut. (Golsyane Abrar, jilid 3, Makalah Syeikh Muhammad Jawad Mughniyah).
Dalam memperkuat persatuan antar madzhab Islam, Syeikh Muhammad Jawad Mughniyah tidak menafikan peran dan pendapat ulama-ulama Islam yang lain. Beliau berkeyakinan bahwa banyak ulama Ahlu-Assunnah yang tidak mengetahui dan tidak memiliki informasi yang benar akan hakikat ajaran-ajaran Syiah. Mereka memusuhi Syiah atas dasar fanatisme buta hanya karena informasi yang tidak benar tentang Syiah. Padahal semua madzhab mengajarkan pengikutnya untuk berbuat menuju kesempurnaan spiritual dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Syeikh Mughniyah selalu menjawab dan menjelaskan semua tuduhan negatif yang dilantarkan terhadap Syiah, dan ini menjadi salah satu dasar untuk memperkuat persatuan dan pendekatan antar madzhab. Beliau adalah orang yang pertama kali menjawab satu buku “Al-Khutut Al-‘Aridhoh” karya Muhibbuddin Al-Khatib dengan tulisannya yang argumentatif. “Al-Khutut Al-‘Aridhoh adalah kitab yang pertama kali ditulis dan dicetak di Mesir untuk menyerang Syiah. Karena tulisan Syeikh Mughniyah dalam menjawab kitab tersebut, akhirnya beliau mendapatkan banyak surat yang berupa ancaman. (Syiah dar Misr, hal: 145).

Perjuangan Syeikh Muhammad Jawad

Syeikh Mughniyah banyak menulis buku yang menyoal ajaran Yahudi. Dengan menelaah ayat-ayat Alquran dan hadis Rasul SAW, beliau mengungkap dasar pemikiran kaum Zionis yang licik dan dukungan rezim Amerika Serikat kepadanya. Syeikh Mughniyah membeberkan dengan benar bahwa pada umumnya kaum Yahudi adalah kaum rasialis. Mereka mengaku sebagai umat pilihan Tuhan. Oleh karena itu, setiap orang Yahudi berhak memiliki dan memanfaatkan apa saja yang muka bumi. Sebagaimana yang tertera di dalam kitab Talmud:”Kami adalah kaum pilihan Tuhan yang memerlukan dua jenis binatang, yang pertama binatang seperti burung, binatang berkaki empat dan binatang melata, serta jenis binatang yang kedua adalah semua umat manusia dari barat sampai timur”. (Perjanjian lama, Kitab Kejadian pasal 2 ayat 7 dan 31, dinukil dari kitab: Andisyeha-ye-siyasi-ye-Mughniyah, hal: 36).
Di dalam makalahnya yang lain Syeikh Muhammad Jawad mengisyaratkan bahwa banyak sekali jumlah penduduk kaum muslimin, dan mereka mengusai hasil bumi yang berupa minyak, komoditas yang sangat penting di dunia. Sayangnya, dengan mudah mereka menyerah dan tunduk pada semua yang diinginkan oleh orang-orang Israel. Syeikh Mughniyah dengan lantang mengritik semua pemimpin Arab, bahwa perlakuan dan sikap mereka itu telah melemahkan dan merapuhkan umat Islam. (Andisyeha-ye-siyasi-ye-Mughniyah, hal: 32 dan 33).
Kitab-kitab dan makalah-makalah hasil karya Syeikh Muhammad Jawad menyebabkan pemerintah Amerika geram, sehingga Washington dalam salah satu instruksinya kepada kedutaan besarnya memerintahkan untuk melakukan apa saja yang bisa menghalangi Syekh Muhammad Jawad Mughniyah dari aktivitasnya. Karena itulah di saat pemerintah Amerika meminta beliau untuk bertemu dan berdialog dengan Presiden Amerika saat itu yaitu Presiden Roosevelt, Syeikh Mughniyah berkata: “Amerika adalah musuh besar bagi Islam dan bangsa Arab. Amerikalah yang menciptakan Israel sehingga tangan-tangan mereka berlumuran darah rakyat Palestina. Saudara-saudara kami terbunuh dengan senjata-senjata buatan Amerika yang diberikan kepada Israel. Dengan tragedi ini semua Anda mengajak dan menawarkan saya untuk berjumpa dengan Presiden Anda?. (Golsyane Abrar, jilid 3, makalah Syeikh Muhammad Jawad Mughniyah).

Ini semua merupakan pergerakan dan perlawanan yang sangat keras dan berani, sehingga surat kabar “Muharrar” menyebutnya dengan gelar tokoh Arab yang mulia.
Pemikiran-pemikiran Syeikh Muhammad Jawad Mughniyah
Reformasi dalam ijtihad, penggunaan metode-metode pengajaran yang baru di hauzah ilmiyah, pemanfaatan cara baru dalam menyebarkan agama dan pemaparan ide demokrasi yang Islami, adalah diantara pemikiran atau ide-ide yang dimiliki oleh Syeikh Mughniyah. Beliau merasakan bahwa kehidupan di masa sekarang ini berada dalam goncangan dan transformasi. Sebagian perubahan yang terjadi bisa diterima oleh Islam dan sebagiannya lagi tidak. Syahid Muhammad Bagir Sadr mengenai pemikiran dan ideologi Syeikh Mughniyah mengatakan: “Untuk pertama kali saya memperhatikan bahwa unsur dalam pemahaman sosial tentang ayat-ayat Alquran dan riwayat merupakan suatu unsur yang mandiri. Dan ketika saya membaca sebagian dari kitab (Fiqhu-Al-Imam Asshodiq, karya ustadz Muhammad Jawad Mughniyah), saya melihat bahwa guru besar kita Syeikh Muhammad Jawad Mughniyah dalam karyanya ini menjelaskan Fiqih Ja’fari dengan penjelasan yang bagus. Meskipun saya sendiri dalam hal ini masih cederung berhati-hati, akan tetapi saya yakin bahwa kaidah-kaidah yang dpergunakan oleh guru kita Mughniyah merupakan inovasi bagus yang dapat membantu perkembangan dan perluasan Fiqih”.
Adapun berkenaan dengan reformasi hauzah-hauzah ilmiyah, beliau memaparkannya dalam sebuah makalahnya yang berjudul ‘Ma’rakah fi Al-Azhar Bainal Mujaddidin wal Muhafidin’, makalah ini dimuat dalam majalah ‘Irfan’ pada tahun 1954 Masehi. Dalam makalahnya, selain memuji reformasi dan perubahan yang terjadi di Universitas Al-Azhar, beliau juga mengimbau agar reformasi serupa terjadi pula di hauzah-hauzah ilmiyah Syiah. Dalam makalahnya tanpa didasari dengan rasa fanatik beliau mengatakan bahwa musuh-musuh hauzah atau yayasan-yayasan Islam ada dua jenis, yang pertama musuh dari dalam dan yang kedua adalah musuh dari luar. Musuh dari dalam ialah mereka yang dengan mengatasnamakan agama menebar keputus-asaan dan mengendurkan semangat yang ada pada kaum muda. Sedangkan musuh dari luar ialah mereka yang mengambil dan menggunakan kesempatan dalam kelalaian hauzah ataupun lembaga-lembaga agama Islam dengan menyusupkan ajaran-ajaran sesat atau ideologi Barat di tengah masyarakat muslim dengan mengatasnamakan ilmu-ilmu sosial atau pembahasan tentang humanisme. (Muhammad Jawad Mughniyah Hayatuhu wa Manhajuhu fi At-tafsir, hal: 122 dan 133).
Beliau berkeyakinan bahwa sebagian kitab-kitab pelajaran hauzah itu monoton tanpa memperhatikan kondisi dan tidak sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman, dan ini dirasakan oleh para pelajar hauzah. Sehubungan dengan hauzah Najaf beliau berkata: kelemahan yang dimiliki oleh hauzah ini adalah tidak adanya pengetahuan tentang ilmu-ilmu yang baru, dan bahkan hauzah ini tidak menghendaki adanya perubahan dalam materi-materi pelajarannya. Oleh karena itu hauzah ini memerlukan pembenahan dan reformasi dengan memanfaatkan materi-materi ilmiah yang lebih bermanfaat untuk Islam dan kaum muslimin pada zaman sekarang. (Muhammad Jawad Mughniyah Hayatuhu wa Manhajuhu fi At-Tafsir, hal: 126).
Ustad Muhammad Jawad Mughniyah untuk mencapai cita-cita yang diinginkannya terutama hal-hal yang telah disebutkan tadi, menulis beberapa buku diantaranya: Fiqih Al-Imam As-Shodiq, Tafsir Kasyif. Selain itu, beliau juga tertarik dan terpengaruh dengan pandangan-pandangan dan ideologi-ideologi Imam Khomeini. Karena itu beliau juga menulis sebuah buku yang berjudul: Al-Khumaini wa Addaulah Al-Islamiyah. (Muhammad Jawad Mughniyah Hayatuhu wa Manhajuhu fi At-Tafsir, hal: 134, 142 dan 145).
Ustadz Mughniyah juga meyakini bahwa pemerintahan Islam adalah model sebuah pemerintahan yang terbaik. Karena itu beliau mengritik demokrasi ala Barat yang menguntungkan mereka-mereka yang kaya saja, sedangkan yang selalu dirugikan adalah kalangan orang-orang miskin dan lemah. Oleh karena itu pemilik-pemilik saham dengan mudah mendapatkan pakaian dan segala jenis makanan yang mahal-mahal, lain halnya dengan kalangan bawah dan miskin yang harus bergelut dengan segala kesusahan. Inilah warna demokrasi yang disuguhkan oleh Barat dan yang mereka yakini bahwa kehidupan dan nasib masyarakat kalangan bawah ada di tangan orang-orang yang kuat dan kaya. (Golsyane Abrar, jilid 3, makalah Syekh Muhammad Jawad Mughniyah).
Karya-karya Syeikh Muhammad Jawad Mughniyah
Selama masa hidup beliau, banyak karya-karya yang telah beliau hasilkan. Baik itu berupa makalah ataupun berupa buku. Sebagian dari buku-buku karya beliau yang telah beredar dan dicetak antara lain:
1. Al-Islam binadzrah ‘ashriyah.
2. Kitabu Ali wa Al-Qura
3. Assyiah wa Al-Hakimun.
4. Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Khamsah.
5. Fiqh Al-Imam Assodiq ‘Ardhun wa Istidlal.
6. Ma’alim Al-Falsafah Al-Ilahiah.
7. Al-Husein wa Al-Quran.
8. Ma’a Batholat Karbala

Ini hanyalah sebagian dari hasil karya tulisan beliau. Sebagian dari buku-buku beliau banyak ditranskrip ke berbagai bahasa termasuk bahasa Farsi, dan sebagian dari karya beliau bahkan dijadikan sebagai bahan mata kuliah dalam beberapa universitas di Iran.

Peribadi al-Khawarizmi

Keperibadian al-Khawarizmi telah diakui oleh orang Islam dan juga Barat. Al-Khawarizmi telah dianggap sebagai sarjana matematik yang masyhur oleh orang Islam dan ia diperakui oleh orang Barat. Ini dapat dibuktikan bahawa G.Sartonmengatakan “pencapaian-pencapaian yang tertinggi telah doperolehi oleh orang-orang Timur….” Maka temasuklah al-Khawarizmi itu sendiri. Al-Khawarizmi patu disanjungi kerana beliau adalah seorang yang pintar. Menurut Wiedmann pula berkata….’ al-Khawarizmi mempunyai personaliti yang teguh dan seorang yang bergeliga sains’. Setiap apa yang dinyatakan oleh penulis, ini telah

terbukti bahawa al-Khawarizmi mempunyai sifat keperibadian yang tinggi dan sekaligus disanjung oleh orang Islam.

Strategi Pengislaman Sains Matematik

Pengislaman sains matematik seharusnya berlandaskan dengan beberapa perkara iaitu, ia hendaklah berlandaskan tauhid, syariah dan akhlak. Ini kerana ia perlu bagi tokoh-tokoh yanh beragama Islam supaya melaksanakan setiap pekerjaan atau tugasan yang mengikut undang-undang Islam.

Tauhid

Tauhid merupakan landasan falsafah matematik Islam sepertimana dengan ilmu-ilmu Islam yang lain. Mengikut matlamat Islam, semuanya Ayyatullah [tanda-tanda Allah iaitu symbol kebesaran, kewujudan dan keEsaan Tuhan. Ungkapan yang wujud sewajarnya mencorakkan kegiatan matematik. Setiap falsafah dan epistemology sains matematik kita tidak harus diterima bulat-bulat tanpa syarat.

Syariah

Berasaskan kepada undang-undang yang mengenali tindak tanduk masyarakat. Keharmonian dan tanggungjawab kepada umat dan hak diri. Dari sudut ini, ahli matematik Islam yang cuba menyelesaikan masaalah yang melibatkan perbuatan hukum syariah seperti judi, riba dan mencabar kebenaran hakiki daripada agama samawi untuk memperkukuhkan lagi Institusi. Oleh itu, matematik Islam hendaklah berkembang selari dengan keperluan manusia dan perkembangan ini juga harus di dalam sudut syariah.

Akhlak

Ciri-ciri akhlak mulia hendaklah disemaikan kedalam matematik dan juga ia perlu dimasukkan kedalam ilmu-ilmu Islam yang lain agar manusia dapat menerapkan nilai murni. Ilmu yang dipelajari contahnya akhlak yang terdapat dalam bidang matematik ini adalah penemuan aljabar yang melambangkan keadilan. Ini kerana keadilan itu dituntut oleh agama Islam itu sendiri. Melalui asas pradigma tauhid dan sya’iyah itu dapat memperkukuhkan lagi pembinaan akhlak.

Cabang Matematika

Antara cabang yang diperkanalkan oleh al-Khawarizmi seperti geometri, algebra, aritmetik dan lain-lain. GeometriIa merupakan cabang kedua dalam matematik. Isi kandungan yang diperbincangkan dalam cabang kedua ini ialah asal-usul geometri dan rujukan utamanya ialah Kitab al-Ustugusat[The Elements] hasil karya Euklid : geometri dari segi bahasa berasal daripada perkataan yunani iaitu ‘geo’ bererti bumi dan ‘metri’ bererti sukatan. Dari segi ilmunya pula geometri itu adalah ilmu yang mengkaji hal yang berhubung dengan magnitud dan sifat-sifat ruang. Geometri ini mula dipelajari sejak zaman firaun [2000SM]. Kemudian Thales Miletus memperkenalkan geometri Mesir kepada Grik sebagai satu sains dedukasi dalam kurun ke6SM. Seterusnya sarjana Islam telah mengemaskanikan kaedah sains dedukasi ini terutamanya pada abad ke9M. Algebra/aljabarIa merupakan nadi untuk matematik algebra. Al-Khawarizmi telah diterjemahkan oleh Gerhard of Gremano dan Robert of Chaster ke dalam bahasa Eropah pada abad ke-12. sebelum munculnya karya yang berjudul ‘Hisab al-Jibra wa al Muqabalah yang ditulis oleh al-Khawarizmi pada tahun 820M. Sebelum ini tak ada istilah aljabar.


KHADIJAH BINTI KHUWAILID radhiallâhu 'anha
(Sang kekasih yang selalu dikenang jasanya)


Beliau adalah seorang sayyidah wanita sedunia pada zamannya. Dia adalah putri dari Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai bin Kilab al-Qurasyiyah al-Asadiyah. Dijuluki ath-Thahirah yakni yang bersih dan suci. Sayyidah Quraisy ini dilahirkan di rumah yang mulia dan terhormat kira-kira 15 tahun sebelum tahun fill (tahun gajah). Beliau tumbuh dalam lingkungan keluarga yang mulia dan pada gilirannya beliau menjadi seorang wanita yang cerdas dan agung. Beliau dikenal sebagai seorang yang teguh dan cerdik dan memiliki perangai yang luhur. Karena itulah banyak laki-laki dari kaumnya menaruh simpati kepadanya.

Pada mulanya beliau dinikahi oleh Abu Halah bin Zurarah at-Tamimi yang membuahkan dua orang anak yang bernama Halah dan Hindun.Tatkala Abu Halah wafat, beliau dinikahi oleh Atiq bin 'A'id bin Abdullah al-Makhzumi hingga beberapa waktu lamanya namun akhirnya mereka cerai.
Setelah itu banyak dari para pemuka-pemuka Quraisy yang menginginkan beliau tetapi beliau memprioritaskan perhatiannya dalam mendidik putra-putrinya, juga sibuk mengurusi perniagaan yang mana beliau menjadi seorang yang kaya raya. Suatu ketika, beliau mencari orang yang dapat menjual dagangannya, maka tatkala beliau mendengar tentang Muhammad sebelum bi'tsah (diangkat menjadi Nabi), yang memiliki sifat jujur, amanah dan berakhlak mulia, maka beliau meminta kepada Muhammad untuk menjualkan dagangannya bersama seorang pembantunya yang bernama Maisarah. Beliau memberikan barang dagangan kepada Muhammad melebihi dari apa yang dibawa oleh selainnya. Muhammad al-Amin pun menyetujuinya dan berangkatlah beliau bersama Maisarah dan Allah menjadikan perdagangannya tersebut menghasilkan laba yang banyak. Khadijah merasa gembira dengan hasil yang banyak tersebut karena usaha dari Muhammad, akan tetapi ketakjubannya terhadap kepribadian Muhammad lebih besar dan lebih mendalam dari semua itu. Maka mulailah muncul perasaan-perasaan aneh yang berbaur dibenaknya, yang belum pernah beliau rasakan sebelumnya. Pemuda ini tidak sebagamana kebanyakan laki-laki lain dan perasaan-perasaan yang lain.
Akan tetapi dia merasa pesimis; mungkinkah pemuda tersebut mau menikahinya, mengingat umurnya sudah mencapai 40 tahun? Apa nanti kata orang karena ia telah menutup pintu bagi para pemuka Quraisy yang melamarnya?
Maka disaat dia bingung dan gelisah karena problem yang menggelayuti pikirannya, tiba-tiba muncullah seorang temannya yang bernama Nafisah binti Munabbih, selanjutnya dia ikut duduk dan berdialog hingga kecerdikan Nafisah mampu menyibak rahasia yang disembuyikan oleh Khodijah tentang problem yang dihadapi dalam kehidupannya. Nafisah membesarkan hati Khadijah dan menenangkan perasaannya dengan mengatakan bahwa Khadijah adalah seorang wanita yang memiliki martabat, keturunan orang terhormat,

memiliki harta dan berparas cantik.Terbukti dengan banyaknya para pemuka Quraisy yang melamarnya.
Selanjutnya, tatkala Nafisah keluar dari rumah Khadijah, dia langsung menemui Muhammad al-Amin hingga terjadilah dialog yang menunjukan kelihaian dan kecerdikannya:
Nafisah : Apakah yang menghalangimu untuk menikah wahai Muhammad?
Muhammad : Aku tidak memiliki apa-apa untuk menikah .
Nafisah : (Dengan tersenyum berkata) Jika aku pilihkan untukmu seorang wanita yang kaya raya, cantik dan berkecukupan, maka apakah kamu mau menerimanya?
Muhammad : Siapa dia ?
Nafisah : (Dengan cepat dia menjawab) Dia adalah Khadijah binti Khuwailid
Muhammad : Jika dia setuju maka akupun setuju.
Nafisah pergi menemui Khadijah untuk menyampaikan kabar gembira tersebut, sedangkan Muhammad al-Amin memberitahukan kepada paman-paman beliau tentang keinginannya untuk menikahi sayyidah Khadijah. Kemudian berangkatlah Abu Tholib, Hamzah dan yang lain menemui paman Khadijah yang bernama Amru bin Asad untuk melamar Khadijah bagi putra saudaranya, dan selanjutnya menyerahkan mahar.

Setelah usai akad nikah, disembelihlah beberapa ekor hewan kemudian dibagikan kepada orang-orang fakir. Khadijah membuka pintu bagi keluarga dan handai taulan dan diantara mereka terdapat Halimah as-Sa'diyah yang datang untuk menyaksikan pernikahan anak susuannya. Setelah itu dia kembali ke kampungnya dengan membawa 40 ekor kambing sebagai hadiah perkimpoian yang mulia dari Khadijah, karena dahulu dia telah menyusui Muhammad yang sekarang menjadi suami tercinta.
Maka jadilah Sayyidah Quraisy sebagai istri dari Muhammad al-Amin dan jadilah dirinya sebagai contoh yang paling utama dan paling baik dalam hal mencintai suami dan mengutamakan kepentingan suami dari pada kepentingan sendiri. Manakala Muhammad mengharapkan Zaid bin Haritsah, maka dihadiahkanlah oleh Khadijah kepada Muhammad.

Demikian juga tatkala Muhammad ingin mengembil salah seorang dari putra pamannya, Abu
Tholib, maka Khadijah menyediakan suatu ruangan bagi Ali bin Abi Tholib radhiallâhu 'anhu agar dia dapat mencontoh akhlak suaminya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam .
Allah memberikan karunia pada rumah tangga tersebut berupa kebehagaian dan nikmat yang berlimpah, dan mengkaruniakan pada keduanya putra-putri yang bernama al-Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqqayah, Ummi Kalsum dan Fatimah.

Kemudian Allah Ta'ala menjadikan Muhammad al-Amin ash-Shiddiq menyukai Khalwat (menyendiri), bahkan tiada suatu aktifitas yang lebih ia sukai dari pada menyendiri. Beliau menggunakan waktunya untuk beribadah kepada Allah di Gua Hira' sebulan penuh pada setiap tahunnya. Beliau tinggal didalamnya beberapa malam dengan bekal yang sedikit jauh dari perbuatan sia-sia yang dilakukan oleh orang-orang Makkah yakni menyembah berhala dan lain –lain.
Sayyidah ath-Thahirah tidak merasa tertekan dengan tindakan Muhammad yang terkadang harus berpisah jauh darinya, tidak pula beliau mengusir kegalauannya dengan banyak pertanyaan maupun mengobrol yang tidak berguna, bahkan beliau mencurahkan segala kemampuannya untuk membantu suaminya dengan cara menjaga dan menyelesaikan tugas yang harus dia kerjakan dirumah. Apabila dia melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam pergi ke gua, kedua matanya senantiasa mengikuti suaminya terkasih dari jauh. Bahkan dia juga menyuruh orang-orang untuk menjaga beliau tanpa mengganggu suaminya yang sedang menyendiri.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam tinggal di dalam gua tersebut hingga batas waktu yang Allah kehendaki, kemudian datanglah Jibril dengan membawa kemuliaan dari Allah sedangkan beliau di dalam gua Hira' pada bulan Ramadhan. Jibril datang dengan membawa wahyu.Selanjutnya beliay Nabi Saw keluar dari gua menuju rumah beliau dalam kegelapan fajar dalam keadaaan takut, khawatir dan menggigil seraya berkata: "Selimutilah aku ….selimutilah aku …".

Setelah Khadijah meminta keterangan perihal peristiwa yang menimpa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, beliau menjawab:"Wahai Khadijah sesungguhnya aku khawatir terhadap diriku".
Maka Istri yang dicintainya dan yang cerdas itu menghiburnya dengan percaya diri dan penuh keyakinan berkata: "Allah akan menjaga kita wahai Abu Qasim, bergembiralah wahai putra pamanku dan teguhkanlah hatimu. Demi yang jiwaku ada ditangan-Nya, sugguh aku berharap agar anda menjadi Nabi bagi umat ini. Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu selamanya, sesungguhnya anda telah menyambung silaturahmi, memikul beban orang yang memerlukan, memuliakan tamu dan menolong para pelaku kebenaran.
Maka menjadi tentramlah hati Nabi berkat dukungan ini dan kembalilah ketenangan beliau karena pembenaran dari istrinya dan keimanannya terhadap apa yang beliau bawa.

Namun hal itu belum cukup bagi seorang istri yang cerdas dan bijaksana, bahkan beliau dengan segera pergi menemui putra pamannya yang bernama waraqah bin Naufal, kemudian beliau ceritakan perihal yang terjadi pada Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam . Maka tiada ucapan yang keluar dari mulutnya selain perkataan: "Qudus….Qudus…..Demi yang jiwa Waraqah ada ditangan-Nya, jika apa yang engkau ceritakan kepadaku benar,maka sungguh telah datang kepadanya Namus Al-Kubra sebagaimana yang telah datang kepada Musa dan Isa, dan Nuh alaihi sallam secara langsung.Tatkala melihat kedatangan Nabi, sekonyong-konyong Waraqah berkata: "Demi yang jiwaku ada ditangan-Nya, Sesungguhnya engkau adalah seorang Nabi bagi umat ini, pastilah mereka akan mendustakan dirimu, menyakiti dirimu, mengusir dirimu dan akan memerangimu. Seandainya aku masih menemui hari itu sungguh aku akan menolong dien Allah ". Kemudian ia mendekat kepada Nabi dan mencium ubun-ubunnya. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: " Apakah mereka akan mengusirku?". Waraqah menjawab: "Betul, tiada seorang pun yang membawa sebagaimana yang engkau bawa melainkan pasti ada yang menentangnya. Kalau saja aku masih mendapatkan masa itu …kalau saja aku masih hidup…". Tidak beberapa lama kemudian Waraqah wafat.
Menjadi tenanglah jiwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tatkala mendengar penuturan

Waraqah, dan beliau mengetahui bahwa akan ada kendala-kendala di saat permulaan berdakwah, banyak rintangan dan beban. Beliau juga menyadari bahwa itu adalah sunnatullah bagi para Nabi dan orang-orang yang mendakwahkan dien Allah. Maka beliau menapaki jalan dakwah dengan ikhlas semata-mata karena Allah Rabbul Alamin, dan beliau mendapatkan banyak gangguan dan intimidasi.
Adapun Khadijah adalah seorang yang pertama kali beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan yang pertama kali masuk Islam.
Beliau adalah seorang istri Nabi yang mencintai suaminya dan juga beriman, berdiri mendampingi Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam yang dicintainya untuk menolong, menguatkan dan membantunya serta menolong beliau dalam menghadapi kerasnya gangguan dan ancaman sehingga dengan hal itulah Allah meringankan beban Nabi-Nya.Tidaklah beliau mendapatkan sesuatu yang tidak disukai, baik penolakan maupun pendustaan yang menyedihkan beliau Shallallahu 'alaihi wasallam kecuali Allah melapangkannya melalui istrinya bila beliau kembali ke rumahnya. Beliau (Khadijah) meneguhkan pendiriannya, menghiburnya, membenarkannya dan mengingatkan tidak berartinya celaan manusia pada beliau Shallallahu 'alaihi wasallam. Dan ayat-ayat Al-Qur'an juga mengikuti (meneguhkan Rasulullah), Firman-Nya:
"Hai orang-orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Rabb-Mu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (belasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Rabb-Mu, bersabarlah!"(Al-Muddatstsir:1-7).

Sehingga sejak saat itu Rasulullah yang mulia memulai lembaran hidup baru yang penuh barakah dan bersusah payah. Beliau katakan kepada sang istri yang beriman bahwa masa untuk tidur dan bersenang-senang sudah habis. Khadijah radhiallâhu 'anha turut mendakwahkan Islam disamping suaminya -semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada beliau. Diantara buah yang pertama adalah Islamnya Zaid bin Haritsah dan juga keempat putrinya semoga Allah meridhai mereka seluruhnya.


Mulailah ujian yang keras menimpa kaum muslimin dengan berbagai macam bentuknya,akan
tetapi Khadijah berdiri kokoh bak sebuah gunung yang tegar kokoh dan kuat. Beliau wujudkan Firman Allah Ta'ala:
"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: 'Kami telah beriman' , sedangkan mereka tidak diuji lagi?" . (Al-'Ankabut:1-2).
Allah memilih kedua putranya yang pertama Abdullah dan al-Qasim untuk menghadap Allah tatkala keduanya masih kanak-kanak, sedangkan Khadijah tetap bersabar. Beliau juga melihat dengan mata kepalanya bagaimana syahidah pertama dalam Islam yang bernama Sumayyah tatkala menghadapi sakaratul maut karena siksaan para thaghut hingga jiwanya menghadap sang pencipta dengan penuh kemuliaan.
Beliau juga harus berpisah dengan putri dan buah hatinya yang bernama Ruqayyah istri dari Utsman bin Affan radhiallâhu 'anhu karena putrinya hijrah ke negeri Habsyah untuk menyelamatkan diennya dari gangguan orang-orang musyrik. Beliau saksikan dari waktu ke waktu yang penuh dengan kejadian besar dan permusuhan. Akan tetapi tidak ada kata putus asa bagi seorang Mujahidah. Beliau laksanakan setiap saat apa yang difirmankan Allah Ta'ala :
"Kamu sungguh-sungguh akan duji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberikan kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, ganguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang di utamakan ". (Ali Imran:186).
Sebelumnya, beliau juga telah menyaksikan seluruh kejadian yang menimpa suaminya al-Amin ash-Shiddiq yang mana beliau berdakwah di jalan Allah, namun beliau menghadapi segala musibah dengan kesabaran. Semakin bertambah berat ujian semakin bertambahlah kesabaran dan kekuatannya. Beliau campakkan seluruh bujukan kesanangan dunia yang menipu yang hendak ditawarkan dengan aqidahnya. Dan pada saat-saat itu beliau bersumpah dengan sumpah yang menunjukkan keteguhan dalam memantapkan kebenaran yang belum pernah dikenal orang sebelumnya dan tidak bergeming dari prinsipnya walau selangkah semut.

Beliau bersabda: "Demi Allah wahai paman! seandainya mereka mampu meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan
dakwah ini, maka sekali-kali aku tidak akan meninggalkannya hingga Allah memenangkannya atau aku yang binasa karenannya".
Begitulah Sayyidah mujahidah tersebut telah mengambil suaminya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sebagai contoh yang paling agung dan tanda yang paling nyata tentang keteguhan diatas iman. Oleh karena itu, kita mendapatkan tatkala orang-orang Quraisy mengumumkan pemboikotan mereka terhadap kaum muslimin untuk menekan dalam bidang politik, ekonomi dan kemasyarakatan dan mereka tulis naskah pemboikotan tersebut kemudian mereka tempel pada dinding ka'bah; Khadijah tidak ragu untuk bergabung dengan kaum muslimin bersama kaum Abu Thalib dan beliau tinggalkan kampung halamannya untuk menempa kesabaran selama tiga tahun bersama Rasul dan orang-orang yang menyertai beliau menghadapi beratnya pemboikotan yang penuh dengan kesusahan dan menghadapi kesewenang-wenangan para penyembah berhala. Hingga berakhirlah pemboikotan yang telah beliau hadapi dengan iman, tulus dan tekad baja tak kenal lelah. Sungguh Sayyidah Khadijah telah mencurahkan segala kemampuannya untuk menghadapi ujian tersebut di usia 65 tahun. Selang enam bulan setelah berakhirnya pemboikotan itu wafatlah Abu Thalib, kemudian menyusul seorang mujahidah yang sabar -semoga Allah meridhai beliau- tiga tahun sebelum hijrah.
Dengan wafatnya Khadijah maka meningkatlah musibah yang Rasul hadapi. Karena bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, Khadijah adalah teman yang tulus dalam memperjuangkan Islam.
Begitulah Nafsul Muthmainnah telah pergi menghadap Rabbnya setelah sampai pada waktu yang telah ditetapkan, setelah beliau berhasil menjadi teladan terbaik dan paling tulus dalam berdakwah di jalan Allah dan berjihad dijalan-Nya. Dalalm hubungannya, beliau menjadi seorang istri yang bijaksana, maka beliau mampu meletakkan urusan sesuai dengan tempatnya dan mencurahkan segala kemamapuan untuk mendatangkan keridhaan Allah dan Rasul-Nya. Karena itulah beliau berhak mendapat salam dari Rabb-nya dan mendapat kabar gembira dengan rumah di surga yang terbuat dari emas, tidak ada kesusahan didalamnya dan tidak ada pula keributan didalamnya.

Karena itu pula Rasulullah bersabda: "Sebaik-baik wanita adalah Maryam binti Imran, sebaik-baik wanita adalah Khadijah binti Khuwailid".
Ya Allah ridhailah Khadijah binti Khuwailid, As-Sayyidah Ath-Thahirah. Seorang istri yang setia dan tulus, mukminah mujahidah di jalan diennya dengan seluruh apa yang dimilikinya dari perbendaharaan dunia. Semoga Allah memberikan balasan yang paling baik karena jasa-jasanya terhadap Islam dan kaum muslimin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar